Reskariman Ndraha, S.H.,M.H.,CLA.,CMLC.
Dalam perkembangan hukum pidana, korporasi kini diakui sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini tidak hanya berlaku bagi entitas korporasi itu sendiri, tetapi juga bagi organ-organ di dalamnya, seperti Direksi dan Komisaris. Kedua organ ini memiliki peran krusial dalam pengelolaan serta pengawasan kegiatan usaha Perseroan, sehingga tindakan atau kelalaian mereka sebagai representasi perseroan dapat menimbulkan tanggungjawab pidana.
Menurut Joko Sriwidodo, dalam Bukunya Pertanggungjawaban Kejahatan Korporasi, anggota Direksi dan Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila melakukan atau memerintahkan tindak pidana, serta lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan. Dengan kata lain, baik tindakan aktif maupun pasif yang mengarah pada terjadinya pelanggaran hukum dapat berujung pada sanksi pidana bagi pejabat di dalam korporasi.
1. Tanggung Jawab Pidana Direksi
Direksi sebagai pengelola utama perusahaan memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan usaha berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal seorang anggota Direksi secara langsung melakukan atau memberikan perintah atas tindakan yang melanggar hukum, maka ia dapat dikenai sanksi pidana.
Pasal 55 KUHP mengatur bahwa seseorang yang turut serta dalam tindak pidana dapat dijerat dengan sanksi yang sama dengan pelaku utama. Dengan demikian, jika seorang anggota Direksi mengetahui adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh struktural Perseroan, tetapi tidak mengambil tindakan pencegahan, maka ia tetap dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, kendati tidak secara langsung melakukan perbuatan tersebut, sikap pembiaran atau kelalaian dalam menjalankan fungsinya dapat dianggap sebagai bentuk keterlibatan dalam tindak pidana dimaksud.
Dalam situasi di mana Direksi terdiri dari lebih dari satu orang, maka pertanggungjawaban pidana dapat berlaku secara tanggung renteng bagi seluruh anggota Direksi. Artinya, setiap anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara kolektif atas tindakan yang merugikan perusahaan atau pihak lain. Namun, mekanisme pertanggungjawaban ini memiliki pengecualian. Dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT disebutkan bahwa Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab pidana apabila dapat membuktikan bahwa telah bertindak dengan itikad baik, tidak memiliki benturan kepentingan, serta telah mengambil langkah-langkah pencegahan atas tindakan yang berpotensi merugikan perusahaan. Dengan kata lain, selama Direksi dapat menunjukkan bahwa mereka telah menjalankan tugasnya secara profesional dan sesuai dengan prinsip kehati-hatian, maka tidak dapat serta-merta bebani pertanggungjawaban pidana.
2. Tanggung Jawab Pidana Komisaris
Tidak hanya Direksi, Komisaris sebagai organ pemegang fungsi oversight dalam Perusahaan juga memiliki tanggung jawab pidana terhadap perbuatan korporasi. Lebih lanjut, Joko Sriwidodo menjelaskan bahwa Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila gagal dalam menjalankan fungsi pengawasan atau mencegah terjadinya tindak pidana dalam Perusahaan, serta terlibat dalam pengambilan keputusan Perseroan yang melanggar hukum.
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan pelakunya untuk mengganti kerugian. Dengan demikian, apabila seorang Komisaris mengetahui atau seharusnya mengetahui adanya potensi pelanggaran hukum oleh Direksi tetapi tidak mengambil langkah pencegahan, maka ia dapat dianggap turut bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi dalam Perseroan.
Selanjutnya apabila Komisaris secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan yang mengakibatkan tindak pidana, ia dapat dianggap sebagai pelaku atau turut serta dalam tindak pidana tersebut. Artinya, bukan hanya kelalaian dalam pengawasan yang dapat menjerat Komisaris, tetapi juga keterlibatan aktif dalam keputusan yang merugikan pihak lain.
Selain itu, dalam Pertanggungjawaban Kejahatan Korporasi juga disebutkan bahwa jika kepailitan perusahaan terjadi akibat kelalaian Komisaris dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap Direksi, maka Komisaris dapat ikut bertanggung jawab secara tanggung renteng. Ini berarti bahwa setiap Komisaris dalam struktur Perseroan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya, hal ini dimaksudkan jika kelalaian dalam pengawasan berkontribusi pada kerugian yang dialami perusahaan atau pihak lain.
Dengan demikian, baik Direksi maupun Komisaris memiliki kewajiban hukum yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Setiap tindakan maupun kelalaian dalam menjalankan tugas dapat berujung pada sanksi pidana, sehingga pemahaman yang mendalam mengenai batasan dan kewajiban hukum sangat penting bagi para pengelola perusahaan.
Teori Pertanggungjawaban dalam Tindak Pidana Korporasi
Dalam doktrin hukum pidana, ada beberapa teori yang digunakan untuk menentukan pertanggungjawaban Direksi dan Komisaris dalam tindak pidana korporasi, yaitu:
a. Strict Liability
Teori Strict liability adalah bentuk pertanggungjawaban pidana yang memungkinkan seseorang atau korporasi dijatuhi sanksi tanpa harus membuktikan adanya unsur kesalahan. Dengan kata lain, cukup dengan menunjukkan bahwa suatu pelanggaran telah terjadi, maka sanksi dapat dijatuhkan.
Teori ini lebih banyak digunakan dalam delik yang bersifat administratif atau yang berpotensi menimbulkan bahaya besar bagi kepentingan umum, seperti pencemaran lingkungan, keselamatan konsumen, dan tindak pidana ekonomi lainnya. Sebagai contoh, dalam kasus kebakaran hutan dan lahan misalnya, perusahaan yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan, dapat dikenai sanksi meskipun mereka tidak secara langsung membakar hutan. Hal ini karena perusahaan dianggap memiliki kewajiban hukum untuk memastikan bahwa lahan yang mereka kelola tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.
Menurut Kukuh Dwi Kurniawan dan Dwi Ratna Indri Hapsari dalam Jurnal Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Menurut Vicarious Liability Theory, strict liability diterapkan untuk memastikan bahwa korporasi tidak bisa menghindar dari tanggung jawab hanya dengan pengakuan bahwa tidak ada niat jahat (mens rea) dari pengurusnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Adapun focus daripada teori ini ialah akibat dari sebuah perbuatan, bukan niat atau kesalahan yang mendahuluinya.
Meskipun demikian, penerapan strict liability tetap memiliki batasan. Tidak semua pelanggaran dapat dikenakan sanksi tanpa melihat unsur kesalahan. Dalam beberapa kasus, perusahaan masih dapat mengajukan pembelaan manakala dapat membuktikan bahwa telah mengambil langkah-langkah yang wajar untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut.
b. Vicarious Liability
Menurut Andi Marlina dan Dr. Andi Muliyono dalam Jurnal Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, teori identifikasi (Identification Theory) menempatkan individu-individu kunci dalam korporasi, seperti direksi atau pengurus utama, sebagai perwakilan hukum dari perseroan. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan oleh individu yang memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan korporasi dapat dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri.
Pendekatan ini didasarkan pada keberadaan Direksi dan Komisari sebagai pengurus utama korporasi yang merupakan otak pengendali segala kebijakan dan operasional perusahaan. Oleh karena itu, apabila organ ini melakukan tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan utama, maka korporasi secara langsung dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Teori ini bertujuan untuk mengantisipasi Perseroan tidak melepas tanggung jawab hukumnya dari kesalahan individu tertentu di dalamnya.
c. Identification Theory
Dalam beberapa kasus, teori Vicarious Liability merupakan instrumen hukum yang dapat menjerat korporasi dalam pertanggungjawaban pidana. Adapun teori ini seperti yang dijelaskan oleh Kukuh Dwi Kurniawan dan Dwi Ratna Indri Hapsari dalam jurnal Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Menurut Vicarious Liability Theory, mendasarkan pertanggungjawaban korporasi pada prinsip tanggung jawab pengganti. Dalam teori ini, korporasi dianggap bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh karyawannya selama tindakan tersebut terjadi dalam ruang lingkup pekerjaannya dan untuk kepentingan korporasi.
Prinsip dasar dari teori ini adalah bahwa seorang atasan atau pemberi kerja (employer) harus bertanggung jawab atas tindakan bawahan atau pegawainya (employee) selama tindakan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaan mereka. Dalam hukum pidana korporasi, hal ini berarti bahwa sebuah perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban meskipun tindak pidana tersebut dilakukan oleh pegawai yang tidak memiliki otoritas tertinggi, selama tindakan itu masih dalam rangka menjalankan kepentingan perusahaan.
Pendekatan ini sering digunakan untuk kasus di mana sulit membuktikan bahwa direksi atau pengurus utama memiliki niat jahat secara langsung dalam sebuah tindak pidana, tetapi korporasi tetap diuntungkan dari tindakan ilegal yang dilakukan oleh pegawainya. Sehingga, dalam beberapa kasus, teori Vicarious Liability ini menjadi instrumen hukum yang menjerat korporasi dalam pertanggungjawaban pidana.
Kesimpulan
Direksi dan Komisaris memiliki tanggung jawab pidana dalam tindak pidana korporasi, baik melalui tindakan langsung, kelalaian, maupun pembiaran terhadap pelanggaran hukum dalam perusahaan. Direksi sebagai pengelola utama perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban jika terlibat dalam atau mengetahui suatu pelanggaran hukum tanpa mengambil tindakan pencegahan. Komisaris sebagai Komisaris sebagai pemegang fungsi oversight pada Perusahaan juga dapat dikenai sanksi apabila gagal mencegah atau terlibat dalam keputusan yang melanggar hukum. Hal ini sejalan dengan berbagai teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang digunakan untuk menjerat perusahaan dan pengurusnya dalam perseoran, seperti Strict Liability, yang memungkinkan sanksi dijatuhkan tanpa perlu membuktikan kesalahan; Vicarious Liability, yang membebankan tanggung jawab kepada perusahaan atas tindakan pegawainya; dan Identification Theory, yang menganggap tindakan individu dalam korporasi sebagai tindakan perusahaan itu sendiri.
Daftar Pustaka
- Joko Sriwidodo, Dr. H. (2022). Pertanggungjawaban Kejahatan Korporasi. Kepel Press.
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
- Rodliyah, Any Suryani, dan Lalu Husni (2020). Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jurnal Kompilasi Hukum, Vol. 5 No. 1, Universitas Mataram.
- Andi Marlina & Dr. Andi Muliyono. Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi. Eureka Media Aksara, 2023.
- Kukuh Dwi Kurniawan & Dwi Ratna Indri Hapsari. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Menurut Vicarious Liability Theory. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Vol. 29, No. 2, Mei 2022

Course Details:
Course Price:
$1500
Instructor
Zac Livingston
Lesson Duration
12 Weeks
Lessons
45
Places for Students
12
Language:
English, Spanish, French
Certifications
Digital, Physical